Pendahuluan

DEFINISI PERUBAHAN IKLIM

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) kurang lebih mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang. Perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang, biasanya dalam satu dekade atau lebih (IPCC, 2001). Kementerian Lingkungan Hidup (2001) mendefinsikan perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Perubahan fisik atmosfer bumi ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu yang panjang. Selanjutnya LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Beberapa definisi diatas pada intinya menjelaskan bahwa perubahan iklim terkait dengan perubahan cuaca yang menyebabkan dampak yang luas pada manusia dan lingkungan baik secara lokal maupun global.

FAKTOR-FAKTOR PERUBAHAN IKLIM

Kondisi iklim di bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor, namun faktor yang memiliki pengaruh paling signifikan adalah kesetimbangan panas di bumi. Aliran panas dalam sistem iklim di bumi bekerja karena adanya radiasi. Sumber utama radiasi di bumi adalah matahari. Dari seluruh radiasi matahari yang menuju ke permukaan bumi, sepertiganya dipantulkan kembali ke ruang angkasa oleh atmosfer dan oleh permukaan bumi (lihat Gambar D-1). Pemantulan oleh atmosfer terjadi karena adanya awan dan partikel yang disebut aerosol. Keberadaan salju, es dan gurun memainkan peranan penting dalam memantulkan kembali radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi.Dua pertiga radiasi yang tidak dipantulkan, besarnya sekitar 240 Watt/m2, diserap oleh permukaan bumi dan atmosfer.

Untuk menjaga kesetimbangan panas, bumi memancarkan kembali panas yang diserap tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek. Sebagian radiasi gelombang pendek yang dipancarkan oleh bumi diserap oleh gas-gas tertentu di dalam atmosfer yang disebut gas rumah kaca. Gas rumah kaca yang paling dominan adalah uap air (H2O), kemudian disusul oleh karbondioksida (CO2). Gas rumah kaca yang lain adalah methana (CH4), dinitro-oksida (N2O), ozone (O3) dan gas-gas lain dalam jumlah yang lebih kecil.

Selanjutnya gas rumah kaca meradiasikan kembali panas tersebut ke bumi. Mekanisme ini disebut efek rumah kaca. Efek rumah kaca inilah yang menyebabkan suhu bumi relatif hangat dengan rata-rata 14oC, tanpa efek rumah kaca suhu bumi hanya sekitar -19oC.Sebagian kecil panas yang ada di bumi, yang disebut panas laten, digunakan untuk menguapkan air. Panas laten ini dilepaskan kembali ketika uap air terkondensasi di awan (lihat Gambar D-1).Adanya peningkatan jumlah dan komposisi gas rumah kaca di atmosfer, menyebabkan munculnya fenomena pemanasan global, yaitu peningkatan rata-rata suhu atmosfer yang dekat dengan permukaan bumi dan troposfer. Pemanasan global ini dapat berkontribusi pada perubahan pola iklim global.

Istilah perubahan iklim sering digunakan secara tertukar dengan istilah ’pemanasan global’, padahal fenomena pemanasan global hanya merupakan bagian dari perubahan iklim, karena parameter iklim tidak hanya temperatur saja, melainkan ada parameter lain yang terkait seperti presipitasi, kondisi awan, angin, maupun radiasi matahari. Meskipun pemanasan global hanya merupakan 1 bagian dalam fenomena perubahan iklim, namun pemanasan global menjadi hal yang penting untuk dikaji. Hal tersebut karena perubahan temperatur akan memperikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas manusia. Perubahan temperatur bumi dapat mengubah kondisi lingkungan yang pada tahap selanjutkan akan berdampak pada tempat dimana kita dapat hidup, apa tumbuhan yang kita makan dapat tumbuh, bagaimana dan dimana kita dapat menanam bahan makanan, dan organisme apa yang dapat mengancam. Ini artinya bahwa pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia secara menyeluruh.

Pengamatan selama 157 tahun terakhir menunjukkan bahwa suhu permukaan bumi mengalami peningkatan sebesar 0,05 oC/dekade. Bahkan selama 25 tahun terakhir peningkatan suhu yang semakin tajam, yaitu sebesar 0,18 oC/dekade (lihat Gambar D-2). Penyumbang terbesar dari peningkatan suhu di bumi tersebut adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. IPCC (2007) menyimpulkan bahwa, “sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia” yang kontribusinya mencapai 90% dari efek rumah kaca. Kegiatan manusia, terutama berupa pembakaran bahan bakar fosil dan aktifitas pertanian, menghasilkan emisi berupa gas rumah kaca yaitu CO2, CH4, N2O dan halokarbon (kelompok gas yang mengandung florine, klorin dan bromin). Gas-gas tersebut terakumulasi di atmosfer sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi seiring dengan perjalanan waktu. Peningkatan ini sangat kentara pada era industri seperti ditunjukkan pada gambar D-3.

Karbon dioksida tersebut merupakan salah satu dari kontributor utama terhadap pemanasan global saat ini. Gas rumah kaca lainnya yang menjadi kontributor utama pemanasan global adalah metana (CH4) yang dihasilkan dari aktivitas agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2, juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer.

Studi tentang perubahan iklim melibatkan analisis iklim masa lalu, kondisi iklim saat ini, dan estimasi kemungkinan iklim di masa yang akan datang (beberapa dekade atau abad ke depan). Hal ini tidak terlepas juga dari interaksi dinamis antara sejumlah komponen sistem iklim seperti atmosfer, hidrofer (terutama lautan dan sungai), kriosfer, terestrial dan biosfer, dan pedosfer. Studi iklim di bumi tidak hanya berkisar pada peningkatan suhu bumi sebagai indikasi dari pemanasan global, namun juga menyangkut seluruh komponen yang terkait dengan iklim tersebut. Dengan demikian, dalam studi-studi mengenai perubahan iklim dibutuhkan penilaian yang terintegrasi terhadap sistem iklim atau sistem bumi.

Perubahan iklim dapat terjadi karena proses alamiah maupun karena ulah manusia yang secara terus menerus merubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan. Proses alamiah yang terjadi antara lain disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal tersebut adalah perubahan pada lempeng benua, orbit bumi dan kekuatan radiasi matahari. Sedangkan faktor internal antara lain dipengaruhi oleh kondisi atmosfer, perubahan vegetasi, keberadaan es dipermukaan bumi, kondisi samudra dan kondisi permukaan tanah (gambar D.4). Perubahan-perubahan pada faktor-faktor diatas dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim di bumi.

Pada masa lalu iklim di bumi juga mengalami perubahan.  Dari periode glasial (masa es) dimana es menutupi hampir seluruh permukaan bumi, sampai periode interglasial dimana es berkurang ke arah kutun atau mencair – iklim terus berubah. Para ilmuwan telah dapat memulai menyatukan potongan-potongan gambaran mengenai iklim bumi mulai dari beberapa dekade sampai jutaan tahun yang lalu dengan menganalisis sejumlah fenomena yang mewakili kejadian iklim seperti inti es (ice core), lubang-lubang bor, lingkaran tahunan pohon, panjang glasier, sisa tepung sari, dan sedimen lautan, dan dengan mempelajari perubahan dalam orbit bumi mengelilingi matahari. Perubahan iklim di masa lalu, disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :

  • Perubahan orbit bumi. Perubahan dalam bentuk orbit bumi (eccentricity) sebagaimana kemiringan bumi dan efek presisi jumlah sinar matahari yang diterima di permukaan bumi.  .
  • Perubahan intensitas matahari.
  • Erupsi vulkanik: Letusan gunung berapi dapat mempengaruhi iklim karena adanya emisi aerosol dan karbondioksida ke atmosfer.
  • Perubahan arus laut : pemanasan atau pendinginan permukaan bumi dapat menyebabkan perubahan arus laut. Karena arus laut memiliki peranan yang signifikan dalam pendistribusian panas di bumi, perubahan arus ini dapat memberi perubahan yang signifikan terhadap iklim antar wilayah.

Perubahan konsentrasi gas rumah kaca. Pemanasan atau pendinginan permukaan bumi dalam menyebabkan perubahan konsentrasi gas rumah kaca. Contohnya, pada saat temperatur global lebih panas, karbon dioksida dikeluarkan dari lautan. Pada saat perubahan orbit bumi memicu periode pemanasan (atau interglasial),  peningkatan konsentrasi karbon dioksida dalam memperkuat pemanasan dengan meningkatkan efek gas rumah kaca. Pada saat temperatur menjadi lebih dingin, CO2 masuk ke lautan dan berkontribusi pada proses pendinginan. Selama setidaknya 650.000 tahun terakhir, level CO2 cenderung mengikuti periode glasial dingin (cool glacial periods). Level CO2 dapat dilihat pada gambar berikut.

KONTRIBUSI MANUSIA TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian pemahaman mengenai perubahan iklim diatas, manusia memiliki kontribusi yang besar pada terjadinya perubahan iklim. Berdasarkan laporan IPCC pada tahun 2007 kemungkinan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim adalah sebesar 90%, keadaan ini lebih tinggi dari laporan terakhir dari IPCC pada tahun 2001 dimana kemungkinan manusia sebagai penyebab perubahan iklim adalah sebesar 60%. Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa penyebab utama terjadinya peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK) seperti peningkatan gas CO2 yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan dari lahan hutan menjadi lahan yang bernilai ekonomi seperti pemukiman dan perkebunan, sedangkan peningkatan gas metan (CH4) dan gas dinitrogen oksida (NO) disebabkan oleh aktivitas pertanian.

Jika diakumulasi, maka secara keseluruhan aktifitas manusia pada peningkatan suhu bumi jauh lebih besar daripada kontribusi faktor-faktor yang lain. Besarnya kontribusi terhadap pemanasan global disebut dengan istilah radiative forcing. Semakin besar radiative forcing semakin besar kontribusinya terhadap pemasan global (lihat gambar 2.6).

Meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer yang disebabkan oleh kegiatan manusia diberbagai sektor, antara lain:

  1. 1.    Penggunaan Energi dari Bahan Bakar Fosil

Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas alam dalam berbagai kegiatan, misalnya pada pembangkitan listrik, transportasi dan industri, akan memicu bertambahnya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer. Walaupun sama-sama menghasilkan emisi gas rumah kaca, namun emisi yang dihasilkan dari penggunaan ketiga jenis bahan bakar fosil tersebut berbeda-beda. Untuk menghasilkan energi sebesar 1 kWh, pembangkit listrik yang menggunakan batubara mengemisikan sekitar 940 gram CO2. Sementara pembangkit listrik yang menggunakan minyak bumi dan gas alam, menghasilkan emisi sekitar 798 dan 581 gram CO2 (Meiviana, dkk., 2004).

Di Indonesia, di antara sektor lainnya, sektor energi menempati urutan kedua sebagai sumber gas rumah kaca yaitu sekitar 25% dari total emisi. Sementara dari sisi pemanfaatan energi di Indonesia, sektor industri merupakan sektor pengemisi gas rumah kaca terbesar, diikuti oleh sektor transportasi.

Tabel 2.1 Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia Tahun 1994

Sumber

CO2

CH4

N2O

+CO2eq

%

(kT)

(kT)

(kT)

(kT)

Total Energi

170,02

2,40

5,72

220,2

24,84

Proses Industri

19,12

0,51

19,15

2,16

Pertanian

3,24

52,86

71,35

8,05

Perubahan Tata Guna Lahan dan Kehutanan

559,47

367

2,52

567,33

64

Sampah

402

8,44

0,95

Total

748,61

774,64

61,61

886,47

100

Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup 1999

  1. 2.    Pengrusakan dan Perambahan Hutan

Salah satu fungsi hutan adalah sebagai penyerap emisi gas rumah kaca, biasa disebut carbon sink. Hutan bekerja untuk menyerap dan mengubah karbondioksida (CO2), salah satu jenis gas rumah kaca, menjadi oksigen (O2) untuk kebutuhan mahluk hidup. Oleh karena itu kegiatan pengrusakan hutan, penebangan hutan, perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan, menyebabkan lepasnya sejumlah emisi gas rumah kaca yang sebelumnya disimpan di dalam pohon.

Seharusnya dengan luasnya kawasan hutan di Indonesia, sekitar 120 juta ha (Tahun 2008), maka emisi gas rumah kaca yang dapat diserap jumlahnya cukup banyak. Namun dengan laju kerusakan hutan sekitar 1.09 juta hektar per tahun untuk kurun waktu tahun 2000-2006 (SLHI, 2008), tak heran jika sektor kehutanan merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia. Menurut The First National Communication yang berisi inventarisasi gas rumah kaca di berbagai Negara, sekitar 64% dari total emisi gas rumah kaca di Indonesia dihasilkan dari sektor kehutanan (Meiviana, dkk., 2004).

  1. 3.    Pertanian dan Peternakan

Sektor pertanian dan peternakan juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer. Dari sektor pertanian, emisi gas rumah kaca dihasilkan dari sawah yang tergenang, pemanfaatan pupuk, pembakaran padang savana, dan pembusukan sisa-sia pertanian. Sektor pertanian menurut The First National Communication secara umum menghasilkan emisi gas rumah kaca hanya sekitar 8%. Namun sektor ini menghasilkan emisi gas metana tertinggi dibandingkan sektor lainnya.

Sementara dari sektor peternakan, emisi gas rumah kaca berupa gas metana (CH4) dilepaskan dari kotoran ternak yang membusuk. Sesungguhnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sector ini, kotoran ternak dapat diolah untuk menjadi biogas, bahan bakar yg ramah lingkungan.

  1. 4.    Sampah

Manusia dalam setiap kegiatannya hampir selalu menghasilkan sampah. Sampah sendiri turut menghasilkan emisi gas rumah kaca berupa gas metana (CH4), walaupun dalam jumlah yang cukup kecil jika dibandingkan dengan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor kehutanan dan energi.

Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, diperkirakan pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan per hari sekitar 500 juta kg/hari atau 190 ribu ton/tahun. Ini berarti pada tahun tersebut Indonesia akan mengemisikan gas metana ke atmosfer sebesar 9500 ton. Sampah kota perlu dikelola secara benar, agar laju perubahan iklim bisa diperlambat.

Leave a comment